Selamat sore menjelang berbuka puasa, rekan-rekan sekalian…
Kemarin, ketika bersileweran di dunia maya mengenai para menteri baru dalam Kabinet Indonesia Maju Joko Widodo mendapatkan komentar yang menarik. Seorang Netijen menolak pernyataan yang mengatakan bahwa “menteri milenial” yang diusung Jokowi kemarin adalah menteri yang bersifat representatif. Menurutnya, “menteri milenial” ini dapat memberikan dobrakan besar terhadap sistem pendidikan dan pemaknaan kebudayaan di Indonesia. Dalam tulisan ini, saya mengajak rekan-rekan untuk melihat kembali pemaknaan “generasi milenial” di Indonesia.
“Milenial” merupakan penyebutan beberapa masyarakat yang memiliki pola yang sama dalam demografi (dikenal dengan “cohort”, yang disebutkan oleh Karl Mannheim) yang lahir mulai pada awal 1980-an hingga 1996.
Milenial adalah kelompok yang hidup saat gejolak politik dan sosial , tetapi saya sebagai generasi yang diaangap media sebagai milenial malah tidak menginat sama sekali kejadian besar sekedar tahu hanya dari membaca misalnya peristiwa reformasi dan kerusuhan saat soekarnoputri menjabat
Melalui tulisan ini, apa yang dapat rekan-rekan bayangkan mengenai “milenial” di Indonesia? Bagi saya, ini hanya sekadar label untuk menegaskan bahwa manusia Indonesia “young and hip” terhadap kondisi masyarakat, dan menggunakan label ini untuk menunjukan diri sebagai orang yang mengikuti peredaran zaman, jika kita menggunakan label tersebut, atau dianggap sebagai generasi yang merusak “budaya bangsa”, jika generasi lain melihat kelompok “milenial”. Pada akhirnya, dengan kondisi Indonesia saat ini, ia hanya penanda semata, tanpa makna yang jelas.